Sejarah berdirinya Pesantren Majma'al Bahrain Hubbul Wathon Minal Iman-Shiddiqiyyah
Pesantren yang di cita-citakan perlahan mulai dibangun.
Bersama keluarga, beberapa saudara, teman, dan murid setia, Kyai Muchtar membangun
gubuk (pondokan) yang disiapkan untuk menginap para santri.
Dalam hal mengajarkan Shiddiqiyyah tak jarang Kyai Muchtar
mengadopsi pola dakwah yang diterapkan oleh walisongo.
Sebagaimana diketahui bahwa dahulu walisongo menjadikan gamelan sebagai sarana mendakwahkan
Islam. diceritakan bahwa pada tahun 60 an, masyarakat ploso terutama kalangan
pemudanya amat menyukai pertunjukan orkes (musik). Kala itu Orkes Mawar
Bersemi dan Orkes Gambus Al-Kadir adalah group musik yang sangat digemari
masyarakat Jombang dan sekitarnya.
Sadar bahwa orkes bisa menjadi daya tarik masyarakat Kyai Muchtar
mendorong anak-anak muda ketika itu membentuk grup orkes yang diberi nama
Ikhwanus Sofa dan Achmad Syafi’in ditunjuk sebagai pimpinannya. Diperkuat
dengan beberapa personel yang memiliki kegemaran di bidang musik, seperti Narman, Bajuri, Na’im, Syai’un grup orkes ini berkembang dengan baik dan
mempunyai nama di masyarakat. Grup ini terus berkembang, personel yang
semula hanya lima orang bertambah menjadi 15 orang.5
Grup orkes Al-Ikhwan dengan sekitar 15 personil meramaikan panggung
seni musik Ploso dan sekitarnya. Lagu yang dimainkan rata-rata adalah Melayu
kuno seperi Sekadar bertanya, Keagungan Tuhan, Burung Nuri, dan banyak lagi.
Ia mengajar bagaimana seni orkes diselingi dengan tarian rampai du belas,
semacam zafin.
Penampilan grup musik Al-Ikhwan yang makin menarik juga perhatian
kalangan pondok pesantren. Dua santri asal Tambak Beras, Hasanuddin dan Zaini
kemudian bergabung mengisi selingan drama. Cukup eksis, grub ini diundang
mengisi berbagai cara hiburan, seperti pernikahan, khitanan, hingga pengajian
Maulid Nabi Muhammad SAW. Peringatan Hari Pancasila, peringati
kemerdekaan Bangsa Indonesia. Pentas musik dengan drama itu pun berkembang,
tak jarang bermain di kabuh, ngimbang, hingga sidoarjo serta beberapa daerah
yang lain.
Pola dakwa Muchtar ala Wali Songo ternyata berbuah manis, satu persatu
pemuda dan masyarkat mulai bergabung dengan pengajian yang diadakan di
masjid. Masjid yang dulunya sepi sekarang mulai ramai dipakai kegiatan solat dan
ibadah lainnya. “Bieng sing sembayang ning masjid kadang mung telu,
alhamdulillah bar iku siji, loro, telu akhire akeh sing nang masjid” (dahulu orang yang solat kadang hanya tiga orang, alhamdulillah setelah itu satu, dua, tiga orang
akhirnya banyak yang pergi ke masjid).
BERSAMBUNG>>>