Kamis, 01 Juni 2023

Sejarah berdirinya Pesantren Majma'al Bahrain Hubbul Wathon Minal Iman-Shiddiqiyyah (1)

Sejarah berdirinya Pesantren Majma'al Bahrain Hubbul Wathon Minal Iman-Shiddiqiyyah

Suatu malam ketika Kyai Muctar masih menetap di Lamomgan, Beliau
pernah bermimpi. Dalam mimpinya seolah-olah Beliau pulang ke rumahnya di
Ploso, namun sesampai di daerah bawang kendaraan yang dinaiki di larangan
masuk oleh beberapa orang. Sebab jalanan sangat penuh dengan kerumunan
orang yang sedang menghadiri acara pengajian di pesantren. Setelah Kyai
Muchtar berkata bahwa Beliau memiliki saudara di dalam pesantren, barulah
diizinkan masuk oleh petugas yang ada disitu.
Setelah terbangun Kyai Muchtar sempat berpikir, apakah makna dibalik
mimpi yang baru saja yang terjadi “Apakah ini isyarat bahwa saya akan
memimpin pesantren?”. Belum lama larut dalam menafsir mimpinya, pikirannya
buru-buru menolak apa yang telah terpikir sebelumnya “Kalau saya kok
sepertinya tidak mungkin. Yang paling mungkin adalah Kang Aziz. Tapi Kang
Aziz sudah pindah ke Perak Jombang”. Begitulah kira-kira pergolakan pemikiran
Kyai Muchtar saat itu.
Mimpi yang dialami Kyai Muchtar pada awalnya dirasa hanyalah bungabunga tidur biasa yang tidak memiliki makna apapun. Namun seiring berjalannya
waktu ternyata apa yang di mimpinya menjadi kenyataan. Kyai Muchtar menjadi
pendiri Pesantren Majma’al Bahrain yang sekaligus menjadi pusat pengajaran
Tarekat Shiddiqiyyah.
Dalam suatu waktu Kyai Muchtar merenung dan teringat dengan hadis
rasul sebagaimana ditulis Imam Baihaqi dalam kitab Syu’abul Iman
:“Barangsiapa membaca surat al-kahfi pada hari Jumat, maka Allah akan
meneranginya (menyambungkan cahaya) antara dia dan Ka’bah”.
Terinspirasi dari hadis itu Kyai Muchtar setiap petang jumat selalu
membaca surah Al-Kahfi, biasanya surah itu dibaca sebanyak 7 kali, dan mulai
dibaca diatas jam 10 malam. Surat al-Kahfi dibaca dan terus dibaca, bahkan
menjadi tradisi setiap malam jumat. Namun ada suatu yang aneh, entah mengapa
setiap membaca ayat ke 60 hatinya selalu bergetar. Setelah dicermati lebih dalam,
ternyata dalam ayat tersebut terdapat kalimat “majma’al al bahrain” yang berarti
pertemuan dua lautan. Sampai suatu ketika terbersit dalam pikirannya, seandainya
Allah SWT meridai dirinya bisa mendirikan pesantren baru, maka akan
dinamainya pesantren Majma’al Bahrain. Kata ini sederhana tetapi sarat akan
makna, majma’al bahrain berarti pertemuan dua lautan dapat di makna sebagai
pertemuan antara lautan syari’ah dan hakikat.

1.Pemilihan kata majma’al bahrain sebagai nama pesantren tidak lepas dari
latar belakang pemikiran Kyai Muchtar yang sangat diametral (berlawanan) ketika
masih nyantri di pesantren dan setelah keluar dari pesantren. Ketika beliau
menimba ilmu di pesantren peterongan dan tambak beras jombang, Kyai Muchtar
hanya mendalami ilmu-ilmu yang berhubungan dengan ilmu syariat, sementara.
ilmu seputar tasawuf tidak dipelajarinya, bahkan ada kesan kala itu bahwa tasawuf
adalah ilmu yang sesat dan harus dijauhi.
Kecintaan dan ketekunan kyai Muchtar dalam mempelajari ilmu-ilmu
syariat sangat mempengaruhi pola fikirnya, Beliau sangat membenci tasawuf
bahkan bertekad suatu saat akan berjuang di tengah-tengah masyarakat agar
mereka menjauhi dunia tasawuf. Bertolak belakang dengan masa-masa ketika
Kyai Muchtar menimba ilmu di pesantren, ketika beliau tinggal di lamongan,
justru perlahan-lahan beliau mulai mengenal dan mencintai dunia tasawuf.
Kecintaan terhadap tasawuf semakin membuncah ketika lembar demi lembar kitab
Ihya’ Ulumuddin karya Imam Ghozali dibaca dan dihayatinya.

2.Berbicara mengenai dunia Tasawuf, nama kitab Ihya’ Ulumuddin sudah
pasti tidak bisa dipisahkan. Sebab kitab ini menjadi terinspirasi bagi siapa saja
yang mendalami ilmu tasawuf. Kyai Muchtar teringat betul bagaimana Imam
Ghozali memfokuskan dirinya untuk menulis Ihya’. Pada saat Imam Ghozali
terjadi dikotomi yang sangat hebat diantara masyarakat muslim, sebagian angungagungkan ilmu-ilmu syariat dan membenci tasawuf, namun sebagian lain justru
sebaliknya sangat mencintai ilmu-ilmu tasawuf dan membenci ilmu syariat. Imam
Ghozali kemudian berfikir keras bagaimana memadukan keduanya. Akhirnya di
tulislah kitab Ihya’ yang mencoba menggabungkan antara kajian mengenai ilmu
syariat dan tasawuf dalam sebuah keharmonisan yang indah.

3.Dalam pandangan Kyai Muchtar dua ilmu itu semestinya harus berjalan
beriringan bukan untuk di beda-bedakan satu sama lainnya. Kyai Muchtar teringat
dengan syair yang ditulis oleh Imam Romli: wa syari’atun ka safinatin, wa
thariqatun kal bahri tsumma haqiqatun durrun ghola (Syariat adalah laksana perahu, tarekat laksana lautan yangaluas, dan hakikat laksana mutiara yang mahal harganya). “
Mana mungkin orang bisa berlayar di laut tanpa menggunakan perahu, mana
mungkin orang bisa mengambil mutiara yang ada di lautan jika tidak berlayar ke
sana” begitulah makna yang disarikan Kyai Muchtar dari syair Imam Romli.
BERSAMBUNG>>>